✔ Nilai Pendidikan Islam Yang Terkandung Dalam Surat Al Kahfi Ayat 66 - 70
![]() |
skripsi |
Skripsi ini Saya beri Judul: Nilai Pendidikan dalam Kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as. pada Q.S al-Kahfi ayat 66-70 Tentang Peran Pendidik dalam Membimbing Peserta Didik Islam. Kemudian Metode skripsi yang saya gunakan disini ialah dengan memakai metode kepustakaan. Skripsi ini saya susun menjadi 5 bab. Pada kali ini saya akan mengembangkan cuilan ke-1 yaitu pendahuluan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam melaksanakan pendidikan Islam, kiprah pendidik sangat penting, lantaran ia yang bertanggung jawab dan memilih arah pendidikan tersebut. Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang yang berilmu pengetahuan yang bertugas sebagai pendidik. Pendidik mempunyai kiprah yang mulia, sehingga Islam memandang pendidik mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang tidak mempunyai ilmu dan orang-orang yang bukan sebagai pendidik. Penghormatan dan penghargaan Islam terhadap orang-orang yang berilmu itu terbukti di dalam al-Quran dalam surat al-Mujaadilah ayat 11:
Artinya: “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kau dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan bebrapa derajat. Dan Allah swt. Maha Mengetahui apa yang kau kerjakan”. (Depag RI, 1978 : 911).
Di dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Turmudzi dari Abu Umamah bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “sesungguhnya Allah Yang Maha Suci, malaikat-Nya, penghuni-penghuni langit-Nya dan bumi-Nya termasuk semut dalam lubangnya dan termasuk ikan dalam maritim akan mendoakan keselamatan bagi orang-orang yang mengajar insan kepada kebaikan.”
Demikian halnya di dalam al-Quran surat Ali Imran ayat 187 disebutkan perihal keutamaan kiprah mengajar itu sebagai berikut:
Artinya: “Dan ingatlah dikala Allah mengambil kesepakatan dari orang-orang jago kitab, hendaklah kau menandakan isi kitab itu kepada insan dan janganlah kau menyembunyikan .....” ( (Depag RI, 1978 : 59).
Tetapi orang-orang yang berilmu kemudian tidak mengajarkan atau
menyampaikan ilmunya kepada orang lain, maka akan mendapat bahaya berat sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad saw. yang berbunyi:
Artinya: “Barang siapa yang diajari sesuatu ilmu kemudian beliau menyembunyikannya, maka Allah mengekangnya pada hari simpulan zaman dengan kekangan api neraka.”
Berdasarkan firman Allah swt. dan hadits nabi diatas, para ulama dan jago pendidikan Islam semenjak dahulu hingga kini secara serius melaksanakan proses pendidikan dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan. Kesungguhan mereka itu terbukti dengan banyak lahirnya kalangan intelektual yang menguasai aneka macam bidang ilmu pengetahuan. Teori dan pemikiran mereka tidak hanya diakui oleh kalangan muslim saja, tetapi diakui dan dijadikan landasan oleh kalangan non muslim serta masyarakat luas.
Disamping itu dalam upaya menegembangkan ilmu pengetahuan di tengah-tengah masyarakat telah banyak bangkit lembaga-lembaga Islam yang bergerak dalam dunia pendidikan. Hal ini terlihat dengan banyak berdirinya sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar hingga akademi tinggi. Islam menginginkan insan individu (guru dan siswa) dan masyarakat untuk menjadi orang-orang yang berpendidikan. Individu yang berpendidikan merupakan individu yang berilmu, berketerampilan, berakhlak mulia, berkepribadian luhur, berinteraksi dan bekerjasama untuk memanfaatkan alam semesta dan isinya untuk kesejahterann umat insan di bumi.
Syekh Naquib al-Attas, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata (2003 : 11) menyatakan bahwa pendidikan berasal dari kata ta’dib. Memang terdapat kata lain yang berkaitan dengan pendidikan selain ta’dib, yakni tarbiyah, akan tetapi tarbiyah lebih menekankan pada mengasuh, menanggung, memberi makan, memelihara, dan mengakibatkan bertambah dalam pertumbuhan. Selanjutnya Naquib menyatakan bahwa pemfokusan pada ‘adab’ yang meliputi dalam amal pendidikan dan proses pendidikan ialah untuk menjamin bahwa ilmu dipergunakan secara baik dalam masyarakat.
Pendidikan ialah suatu kegiatan untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian insan yang berjalan seumur hidup. Dengan kata lain pendidikan tidak hanya berlangsung didalam kelas, tetapi berlangsung pula diluar kelas. Pendidikan bukan bersifat formal saja, tetapi meliputi pula yang non formal (Zuhairini, 2008: 149).
Abdurrahman al-Bani, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman al-Nahlawi (1989: 32) bahwa pendidikan (tarbiyah) ialah menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh, mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-macam, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi ini menuju kepada kebaikan dan kesempurnaan yang layak baginya.
Menurut Ngalim Purwanto (2007: 11) pendidikan ialah segala perjuangan orang cendekia balig cukup akal dalam pergaulan dengan bawah umur untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani.
Melihat pengertian pendidikan tersebut diatas, maka sanggup dipahami bahwa pendidikan ialah proses yang mempunyai tujuan, sasaran, dan obyek. Pendidikan juga menuntut adanya langkah-langkah yang secara sedikit demi sedikit harus dilalui oleh aneka macam kegiatan pendidikan, dan kerja pendidik harus mengikuti hukum penciptaan dan pengadaan yang dilakukan Allah swt., sebagaimana harus mengikuti Syara’ dan Din Allah swt. dengan tujuan pembentukan keperibadian yang utama.
Setiap kegiatan yang dilakukan tentu ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan ialah suatu yang dihaarapkan tercapai atau kegiatan selesai (Derajat Z, 1996 : 29). Sedangkan berdasarkan Abdurrahman an-Nahlawi (1989 : 160) tujuan yaitu apa yang dicanagkan oleh manusia, diletakannya sebagai sentra perhatian, dan demi merealisasikannya beliau menata tingkah lakunya.
Menurut ekonomis penulis sanggup dismpulkan bahwa tujuan pendidikan ialah sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakan pendidikan.
Fungsi dan Tujuan pendidikan sebagaimana yang di tegaskan dalam UUSPN No. 20 tahun 2003 bahwa:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi penerima didik biar menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Melihat fungsi dan tujuan pendidikan nasional diatas, maka tenaga pendidik (guru) mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membina manusia-manusia yang berkualitas, cerdas dan bertanggung jawab atas bangsa dan agama, terutama tanggung jawab terhadap moral dan tingkah laris anak didik. Dalam pendidikan Islam guru merupakan komponen yang sangat penting lantaran guru merupakan subjek dalam proses pendidikan. Tanpa adanya guru berarti tidak akan ada proses pendidikan.
Imam al-Ghazali, yang dikutip oleh Abidin Ibnu Rusdn (1998 : 63) menyampaikan bahwa:
Makhluk yang paling mulia dimuka bumi ialah manusia. Sedangkan yang paling mulia penampilannya ialah kalbunya. Guru atau pengajar selalu menyempurnakan, mengangungkan dan mensucikan kalbu itu serta menuntunya unuk bersahabat kepada Allah swt.
Dari pernyataan al-Ghazali diatas, sanggup dipahami bahwa guru merupakan profesi yang paling mulia dan paling agung dibanding dengan propesi yang lain. Dengan propesi itu guru menjadi jembatan yang menghubungkan antara insan — dalam hal ini murid —dengan penciptanya, Allah swt. Maka kalau kita renungkan kiprah guru ialah ibarat kiprah para utusan Allah swt., tidak terikat dengan ilmu atau bidang studi yang diajarkannya, yaitu mengantarkan murid dan menjadikannya insan terdidik yang bisa menjalankan tugas-tugas kemanusiaan dan tugas-tugas ketuhanan.
Ia tidak sekedar memberikan materi pelajaran, tetapi bertanggung jawab pula menawarkan wawasan kepada murid biar menjadi insan yang mengkaji keterbelakangan, menggali ilmu pengetahuan, dan membuat lingkungan yang menarik dan menyenangkan. Pendidikan kesusilaan, budi pekerti, etika, moral maupun watak bagi murid bukan hanya menjadi tanggung jawab guru bidang studi agama atau yang ada kaitannya dengan budi. Dengan demikian, pendidikan sebagai proses memanusiakan insan menuntut adanya kesamaan arah dari seluruh unsur yang ada, termasuk unsur pendidikannya.
Selanjutnya siswa ialah kata lain dari penerima didik atau murid. Dalam pendidikan Islam siswa merupakan komponen yang tidak bisa dipisahkan dari tenaga pendidik, lantaran siswa merupakan objek sekaligus subjek dalam proses pembelajaran. Menurut Mahmud dan Tedi Priatna (2005 : 120) penerima didik atau siswa ialah tiap orang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Dalam arti sempit dan khusus pesertya didik sanggup diartikan sebagai anak yang belum cendekia balig cukup akal yang tanggung jawabnya diserahkan kepada pendidik.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Bab V pasal 12 ditegaskan:
Peserta didik berhak mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang sama. Dan Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya, menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan.
Melihat pernyataan perihal siswa diatas, penulis mengambil kesimpulan bahwa siswa ialah orang yang membutuhkan bimbingan dari pendidik untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya melalui proses pembelajaran dalam upaya untuk menggapai keinginan yang diharapkan. Agar proses pendidikan mencapai tujuan yang diinginkan, maka siswa hendaknya menyadari posisi dirinya sebagai penerima didik dan sanggup menempatkan dirinya secara proporsional. Etika merupakan suatu hal yang harus diperhatikan oleh siswa dikala proses pembelajaran berlangsung.
Pembelajaran sanggup diartikan sebagai suatu proses interaksi edukatif antara anak didik dengan pendidik. Salah satu indikator interaksi edukatif ialah apabila interaksi tersebut dilakukan secara terencana, teerkendalii, ada sesuatu atau materi yang akan disampaikan dan sanggup dieavaluasi dalam suatu sistem. Konsekuaensi logisnya, dikala interaksi dilakukan tanpa memperhatikan empat poin diatas, maka ia tidak memenuhi karakteristik edukatif.
Dari pemaparan diatas terlihat bahwa salah satu permasalahan penting dalam dunia pendidikan ialah komponen pendidik dan murid. Guru sangat berperan sekali dalam membimbing muridnya, hendaknya seorang guru tidak segan-segan menawarkan pengarahan kepada muridnya biar mempelajari ilmu secara runtut setahap demi setahap.
Dalam proses berguru mengajar, guru merupakan sebuah komponen yang menghipnotis berguru siswa. Guru mempunyai imbas yang besar terhadap berguru dan tingkah laris siswa di dalam kelas. Sebagai manusia, dalam dirinya, seorang guru mempunyai dua aspek yaitu kompetensi dan kepribadian. Kedua aspek tersebut besar lengan berkuasa terhadap jati dirinya sebagai seorang guru dan pendidik. Sehubungan dengan itu guru merupakan subyek yang menjadi fokus bahasan ini disamping penerima didik. lantaran siapapun sependapat bahwa guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan khususnya di tingkat insitusional dan instruksional.
Begitu pentingnya peranan seorang guru terhadap muridnya, Allah swt. swt. Memberikan citra akan hal tersebut bukan dalam bentuk doktrin (larangan dan perintah secara langsung), tetapi dalam bentuk kisah yang hidup. Salah satu kisah yang menggambarkan akan hal tersebut ialah surat al-Kahfi ayat 60 – 70.
Secara umum, surat al-Kahfi ayat 60-70 merupakan kisah yang menggambarkan interaksi antara seorang guru dan murid. Nabi Musa as.yang dalam kisah ini berperan sebagai murid sangat menjunjung tinggi nilai-nilai etika yang semestinya diamalkan oleh siswa biar proses pendidikan yang dilaksanakan berjalan dengan baik. Dan Nabi Khidir as. yang berperan sebagai guru menggambarkan bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu bila pendidik mengetahui bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarinya.
Atas dasar permasalahan diatas, maka surat al-Kahfi ayat 66 – 70 tersebut perlu digali dan diteliti lebih dalam dengan mengutip beberapa penafsiran untuk sanggup pemahaman perihal peranan pendidik dalam membimbing anak didiknya sehingga tujuan pendidikan sanggup tercapai. Untuk menjawab permasalahan tersebut penulis tertarik untuk mengadakan pengkajian lebih dalam dengan judul:
NILAI PENDIDIKAN DALAM KISAH NABI MUSA AS DAN NABI KHIDIR AS PADA Q.S AL-KAHFI AYAT 66-70 TENTANG PERAN PENDIDIK DALAM MEMBIMBING PESERTA DIDIK
B. Perumusan Masalah
1. Apa esensi Q.S al-Kahfi ayat 66 – 70 secara totalitas yang paling urgen ?
2. Apa nilai pendidikan pada Q.S al-Kahfi ayat 66 – 70 berdasarkan para
mufassir ?
3. Bagaimana perilaku seorang murid terhadap gurunya ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh citra perihal :
1. Mengetahui esensi Q.S al-Kahfi ayat 66 – 70 berdasarkan para mufassir.
2. Mengetahui nilai pendidikan pada Q.S al-Kahfi ayat 66-70 berdasarkan para
mufassir.
3. Mengetahui bagaimana etika siswa berdasarkan Ilmu Pendidikan Islam ?
C. Kegunaan penelitian ini ialah :
1. Secara teoritis, penelitian ini dibutuhkan sanggup menawarkan masukan, wawasan, dan pengetahuan bagi penulis khususnya, umumnya bagi yang membacanya perihal konsep kiprah pendidik mengarahkan anak didiknya yang tersurat dari kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as.
2. Secara praktis, penelitian ini dibutuhkan sanggup mempunyai kegunaan dan bermanfaat bagi dunia pendidikan pada umumnya dan bagi para guru dalam menawarkan bimbingan terhadap anak didiknya.
D. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan uraian berbentuk teori-teori atau pemikiran-pemikiran logis yang melandasi dan dijadikan titik tolak bagi permasalahan yang dihadapi atau diteliti. (Sasmita, S.1989: 23).
Adapun yang menjadi dasar dalam penelitian ialah sebagai berikut :
1. Al-Quran dan isinya ialah merupakan sumber referensi utama bagi seluruh disiplin ilmu ke Islaman. Al-Quran juga berfungsi sebagai petunjuk (hudan) juga sebagai penjelas bagi petunjuk-petunjuk tersebut (bayyinat minal hudaa) serta menjadi pembeda atau tolak ukur pemisah antara yang benar dan yang salah (furqon).
Al-Quran merupakan kitab pendidikan dan pengajaran secara umum, dan juga kitab sosial, moral, dan spiritual secara khusus. Dalam Al-Quran banyak sekali diceritakan perihal kisah-kisah yang sanggup dijadikan pelajaran bagi segenap umat manusia. Kisah-kisah tersebut tidak hanya perihal orang-orang yang mendapat jaminan masuk nirwana atau bahaya neraka, akan tetapi didalamnya terdapat kisah-kisah yang mengandung pendidikan. Manfaat dari kisah-kisah dalam Al-Quran ialah mengakibatkan ibrah (pelajaran). Sebagaimana firman Allah swt. swt dalam QS. Yusuf ayat 111:
Artinya: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah dongeng yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (Depag RI, 1978 : 198).
2 Hadits Rasul yang merupakan bayan dari al-Quran yang menguatkan begitu pentingnya kiprah pendidik. Bahkan guru agama khususnya harus sanggup menjadi pendukung sebenar-benarnya keinginan agama dan suri tauladan di mata anak didiknya. Itulah sebabnya guru sebagai pendidik harus memenuhi syarat-syarat yang sanggup dipertanggung jawabkan dalam pendidikan baik aspek jasmani maupun rohani. Rasul bersabda dalam haditsnya:
Artinya: “Berbicaralah kau dengan insan berdasarkan tingkat kemampuan berfikir mereka”.
Sabda Rasulullah saw perihal bahaya orang yang tidak mengamalkan ilmunya:
Artinya: “Barang siapa yang diajari sesuatu ilmu kemudian beliau menyembunyikannya, maka Allah mengekangnya pada hari simpulan zaman dengan kekangan api neraka.”
3. Bahwa pendidikan secara teoritis mengandung pengertian memberi makan (opvoeding) kepada jiwa anak didik sehingga mendapat kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan menumbuhkan kemampuan dasar manusia. Bila ingin diarahkan kepada pertumbuhan sesuai dengan aliran Islam, maka harus berproses melalui sistem kependidikan Islam. (Arifin, M. 1994: 32)
4. Undang-Undang RI perihal Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab XI, pasal 39 menyebutkan :
“Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melaksanakan bimbingan dan pelatihan, serta melaksanakan penelitian dan dedikasi kepada masyarakat, terutama bagi pendidik dan akademi tinggi.”
5. Imam al-Ghozali seorang ulama dan jago pendidikan mengatakan:
“Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi perbuatannya. Perumpamaan guru yang membimbing murid ialah bagaikan tabrakan dengan tanah liat, atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat sanggup terukir sendiri tanpa ada alat untuk mengukirnya, bagaimana mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya bengkok”.
E. Metode dan Teknik Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini ialah metode historis. Digunakan metode historis, lantaran penelitian ini berupaya mengungkapkan data historis perihal kisah yang ada dalam al-Quran yaitu kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as. perihal kiprah seorang pendidik.
Winarno Surakhmad (1994:132) mengungkapkan perihal pengertian historis, yaitu:
Metode historis ialah sebuah proses yang meliputi pengumpulan dan penafsiran gejala, insiden ataupun gagasan yang timbul di masa lampau, untuk menemukan generalisasi yang mempunyai kegunaan dalam perjuangan memenuhi kenyataan-kenyataan sejarah, memahami situasi kini dan meramalkan perkembangan yang akan datang.
2. Teknik Penelitian
Teknik sanggup diartikan sebagai alat kerja yang merupakan kelengkapan cara kerja. Adapun penelitian ini memakai teknik studi literatur atau studi kepustakaan, yaitu suatu teknik yang di gunakan untuk mengkaji aneka macam kitab, tafsir, hadits, dan buku-buku yang ada kaitannya dengan penelitian ini sehingga akhirnya sanggup dipertanggungjawabkan.
F. Langkah-langkah Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mencoba menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
1. Memfokuskan permasalahan
2. Merumuskan tujuan
3. Menerjemahkan ayat yang terkandung dalam Q.S al-Kahfi ayat 66 - 70
4. Menginventarisir pandangan para mufassir terhadap ayat yang diteliti.
5. Menganalisa makna ayat dan keterangan dari para ahli.
6. Telaah buku-buku perihal Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as.
7. Mencari nilai-nilai kependidikannya.
8. Mengumpulkan hasil analisa sehingga terjawab hal-hal yang dipertanyakan.
G. Sumber Kajian
Dalam penelitian ini, sumber data yang dipakai ialah data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini ialah Q.S. al-Kahfi ayat 66-70. Sedangkan sumber data sekunder ialah buku-buku pendidikan lain yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini. Dan data sekunder lainnya ialah kitab tafsir yang dipergunakan sebagai berikut:
1. Tafsir Ibnu Katsir
2. Tafsir al-Fakhru al-Razi’
3. Tafsir al-Maraghi
4. Tafsir al-Munir
5. Tafsir Shafwatu al-Tafasir
6. Tafsir al-Qurthubi
7. Tafsir al-Misbah
8. Buku-buku yang berafiliasi dengan penelitian.
H. Sistimatika pembahasan
Skripsi ini disusun dengan sistimatika yang meliputi 5 (lima) bab, diawali dengan cuilan pendahuluan dan diakhiri dengan cuilan kesimpulan dan saran-saran atau penutup. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
Bab I : Merupakan cuilan pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode dan teknik penelitian, langkah-langkah penelitian, sumber kajian, dan sistimatika pembahasan.
Bab II : Berisi tafsir Q.S al-Kahfi ayat 66-70 berdasarkan beberapa mufassir yang meliputi teks dan terjemah ayat, asbab al-Nuzul, penafsiran berdasarkan para mufassir, sekilas riwayat hidup Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as., rangkuman berdasarkan beberapa mufassir, dan essensi penafsiran berdasarkan mufasir.
Bab III : Menguraikan pengertian ilmu, pengertian pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, pengertian pendidik, pengertian penerima didik, kiprah pendidik dalam pendidikan Islam, serta etika penerima didik dalam Islam.
Bab IV : Analisa terhadap essensi Q.S al-Kahfi ayat 66-70, dan nilai-nilai yang terkandung dalam Q.S al-Kahfi ayat 66-70 perihal kiprah pendidik dan etika penerima didik, dan mendidik sepenuh hati.
Bab V : Merupakan cuilan epilog yang meliputi: kesimpulan dan saran
Demikian skripsi perihal Nilai Pendidikan Islam Yang Terkandung Dalam Surat Al Kahfi Ayat 66 - 70, skripsi ini sahabat bisa copy terutama bagi mahasiswa yang akan menuntaskan studi ilmiahnya, sebagai materi sumber skripsi sobat. Untuk Bab 2 nya segera mediatoh postingkan.
Belum ada Komentar untuk "✔ Nilai Pendidikan Islam Yang Terkandung Dalam Surat Al Kahfi Ayat 66 - 70"
Posting Komentar